Amnesti Abolisi dan Grasi

 on 01 Desember 2010  


A.     Amnesti
Amnesti (dari bahasa Yunani, amnestia) adalah sebuah tindakan hukum yang mengembalikan status tak bersalah kepada orang yang sudah dinyatakan bersalah secara hukum sebelumnya. Amnesti diberikan oleh badan hukum tinggi negara semisal badan eksekutif  tertinggi, badan legislatif atau badan yudikatif.
Amnesti dalam arti luas pengampunan yang diberikan oleh Presiden kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Amnesti ini diberikan kepada orang-orang yang sudah ataupun yang belum dijatuhi hukuman, yang sudah ataupun yang belum diadakan pengusutan atau pemeriksaan terhadap tindak pidana tersebut.
Di Indonesia, amnesti merupakan salah satu hak presiden di bidang yudikatif sebagai akibat penerapan sistem pembagian kekuasaan.
B.      Abolisi
   1. peniadaan peristiwa pidana;
   2. penghapusan (perbudakan di Amerika)
Dalam arti luas abolisi merupakan Penghentian penyidikan yang dilakukan oleh pemerintah atas persetujuan DPR mengenai orang yang bersangkutan karena dinilai tidak memiliki kapasitas untuk memberikan penjelasan secara hukum
Sedangkan dalam arti sempit abolisi merupakan suatu keputusan untuk menghentikan pengusutan dan pemeriksaan suatu perkara, di mana pengadilan belum menjatuhkan keputusan terhadap perkara tersebut. Seorang presiden memberikan abolisi dengan pertimbangan demi alasan umum mengingat perkara yang menyangkut para tersangka tersebut terkait dengan kepentingan negara yang tidak bisa dikorbankan oleh keputusan pengadilan.
C.      Grasi
Dalam arti luas grasi merupakan pengampunan berupa perubahan, perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh presiden.
Grasi, dalam arti sempit berarti merupakan tindakan meniadakan hukuman yang telah diputuskan oleh hakim. Dengan kata lain, Presiden berhak untuk meniadakan hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim kepada seseorang.
TINJAUAN YURIDIS ATAS PENGAJUAN GRASI DALAM KAJIAN PIDANA
Dalam  Amandemen Undang-undang Dasar 1945, teori equality before the law termaktub dalam Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Teori dan konsep equality before the law seperti yang dianut oleh Pasal 27 (1) Amandemen Undang-undang Dasar 1945 tersebut menjadi dasar perlindungan bagi warga negara agar diperlakukansama di hadapan hukum dan pemerintahan.
Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 sering dikatakan menganut sistem presidensiil, akan tetapi sifatnya tidak murni, karena bercampur baur dengan elemen-elemen sistem parlementer. Namun dengan empat perubahan pertama Undang-undang Dasar 1945, khususnya dengan diadopsinya sistem pemilihan presiden  secara langsung, dan dilakukannya perubahan struktural maupun fungsional terhadap kelembagaan MPR, maka sistem pemerintahannya menjadi makin tegas menjadi sistem pemerintahan presidensiil murni. Dalam sistem presidensiil yang murni, tidak perlu lagi dipersoalkan mengenai pembedaan atau pemisahan antara fungsi kepala negara dan kepala pemerintahan, karena dalam pemerintahan presidensiil murni cukup memiliki presiden dan wakil presiden saja tanpa mempersoalkan kapan ia berfungsi sebagai kepala negara dan kapan sebagai kepala pemerintahan.
Di negara dengan tingkat keanekaragaman penduduknya yang luas seperti Indonesia, sistem presidensiil ini efektif untuk menjamin sistem pemerintahan yang kuat dan efektif. Namun seringkali, karena kuatnya otoritas yang dimilikinya,  timbul persoalan berkenaan dengan dinamika demokrasi. Oleh karena itu, dalam perubahan Undang-undang Dasar 1945, kelemahan sistem presidensiil seperti kecenderungan terlalu kuatnya otoritas dan konsentrasi kekuasaan di tangan presiden, diusahakan untuk dibatasi. Misalnya, Pasal 14 ayat (1) Amandemen Undang-undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa “Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan MA”. Hal ini bertujuan agar hak preogratif presiden dibatasi dan tidak lagi bersifat mutlak.
            Wacana pelaksanaan dan penerapan pidana mati berkembang pada enam tahun terakhir. Dengan kata lain soal pidana mati justru populer di masa desakan perubahan sistem peradilan. Pada periode ini beberapa ketentuan hukum baru justru mencantumkan pidana mati sebagai ancaman hukuman maksimal. Misalnya pada Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia, ataupun Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan masih ada peraturan perundang-undangan lainnya.
             KUHP Indonesia, dalam pidana pokoknya mencantumkan pidana mati dalam urutan pertama. Pidana mati di Indonesia merupakan warisan kolonial Belanda, yang sampai saat ini masih tetap ada. Sementara praktik pidana mati masih diberlakukan di Indonesia, Belanda telah menghapus praktik pidana mati sejak tahun 1870 kecuali untuk kejahatan militer. Kemudian pada tanggal 17 Febuari 1983, pidana mati dihapuskan untuk semua kejahatan. Tentu saja hal ini merupakan hal yang sangat menarik. Karena pada saat diberlakukan di Indonesia melalui asas konkordansi, di negara asalnya Belanda ancaman pidana mati sudah dihapuskan.
Di dalam penjelasan ketika membentuk KUHP dinyatakan, bahwa alasan-alasan tetap memberlakukan ancaman pidana mati, karena adanya keadaan-keadaan khusus di Indonesia (sebagai jajahan Belanda). Keadaan-keadaan tersebut antara lain: 1) bahaya terganggunya ketertiban hukum yang lebih besar dan lebih mengancam; 2) Indonesia adalah negara kepulauan, sehingga komunikasi menjadi tidak lancar; 3) penduduk Indonesia heterogen, sehingga menimbulkan potensi bentrokan pada masyarakat; 4) aparat Kepolisian dan pemerintah yang tidak memadai. Namun apabila kita bandingkan dengan keadaan sekarang, maka alasan-alasan tersebut perlu ditinjau kembali. Karena alasan- alasan tersebut sudah tidak cocok dengan keadaan dan perkembangan jaman.
            KUHP Indonesia memuat 11 pasal kejahatan yang mengancam pidana mati. Diantaranya Pasal 104 tentang makar, Pasal 340 tentang pembunuhan berencana, Pasal 365 ayat (4) tentang pencurian dengan kekerasan, Pasal 444 tentang kejahatan pelayaran, dan lain-lain. Pidana mati dalam KUHP merupakan pidana pokok atau utama. Perkembangan yang terjadi di Indonesia dalam Konsep Rancangan KUHP Baru adalah menjadikan pidana mati sebagai pidana eksepsional, dalam bentuk ‘pidana bersyarat’. Artinya, ancaman pidana mati tidak lagi dijadikan sebagai sarana pokok penanggulangan kejahatan, namun merupakan pengecualian. Ancaman pidana mati  tetap tercantum dan diancamkan dalam KUHP, namun dalam penerapannya akan dilakukan secara lebih selektif.
            Indonesia merupakan salah satu negara yang banyak menjatuhkan pidana mati. Berdasarkan catatan berbagai Lembaga Hak Asasi Manusia Internasional, Indonesia termasuk salah satu negara yang yang masih menerapkan ancaman hukuman mati pada sistem hukum pidananya (Retentionist Country). Retentionist maksudnya de jure secara yuridis, de facto menurut fakta mengatur pidana mati untuk segala kejahatan. Tercatat 71 negara yang termasuk dalam kelompok ini. Salah satu negara terbesar di dunia yang termasuk dalam retentionist country ini adalah Amerika Serikat. Dari 50 negara bagian, ada 38 negara bagian yang masih mempertahankan ancaman pidana mati. Padahal seperti  diketahui, Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang paling besar gaungnya dalam menyerukan perlindungan hak asasi manusia di dunia. Namun dalam kenyataannya masih tetap memberlakukan ancaman pidana mati, juga dalam hukum militernya.
            Angka orang yang dihukum mati di Indonesia, termasuk cukup tinggi setelah Cina, Amerika Serikat, Kongo, Arab Saudi, dan Iran. Di Indonesia sendiri, sejak 1982 hingga 2004, tidak kurang dari 63 yang berstatus sedang menunggu eksekusi, atau masih dalam proses upaya hukum di pengadilan lanjutan. Alasan yang banyak dikemukakan berkaitan dengan resistensi politik agar setiap negara menghormati pemikiran bahwa masalah sistim peradilan pidana merupakan persoalan kedaulatan nasional yang merupakan refleksi dari nilai-nilai kultural dan agama, dan menolak argumen bahwa pidana mati merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Terkecuali Cina dan Amerika Serikat, negara yang masih mempertahankan ancaman pidana mati adalah negara yang didominasi oleh penduduk muslim. Sedangkan Indonesia adalah negara yang notabene merupakan negara yang penduduknya juga didominasi oleh  penduduk muslim.
            Hasil sejumlah studi tentang kejahatan tidak menunjukkan adanya korelasi antara hukuman mati dengan berkurangnya tingkat kejahatan. Beberapa studi menunjukkan, mereka yang telah dipidana karena pembunuhan (juga yang berencana) lazimnya tidak melakukan kekerasan di penjara. Begitu pula setelah ke luar penjara mereka tidak lagi melakukan kekerasan atau kejahatan yang sama. Sebaliknya sejumlah ahli mengkritik, suatu perspektif hukum tidak dapat menjangkau hukum kerumitan kasus-kasus kejahatan dengan kekerasan di mana korban bekerjasama dengan pelaku kejahatan, di mana individu adalah korban maupun pelaku kejahatan, dan dimana orang yang kelihatannya adalah korban dalam kenyataan adalah pelaku kejahatan.
Mereka yang pro-hukuman mati berpendapat:
(1) hukuman mati merupakan pidana tepat bagi pelaku pembunuhan (berencana) dan percaya pandangan retribution, atonement or vengeance, yang memiliki sifat khusus yang menakutkan;
(2)  pidana mati masih tercantum dalam sejumlah perundang-undangan;
(3)  hukuman mati lebih ekonomis daripada hukuman seumur hidup.

Mereka yang tidak setuju pidana mati berpendapat:
(1)     ancaman pidana mati secara historis tidak bersumber pada pancasila, karena KUHP kita warisan Belanda, bahkan Belanda sendiri termasuk salah satu negara yang telah menghapuskan hukuman mati;
(2) hukuman mati (pada dasarnya pembunuhan berencana juga) merupakan  sesuatu yang amat berbahaya bila yang bersangkutan tidak bersalah. Tidaklah mungkin diadakan suatu perbaikan apapun bila orang sudah dipidana mati;
(3)  mereka yang menentang hukuman mati menghargai nilai pribadi,   martabat kemanusiaan umumnya dan menghargai suatu pendekatan ilmiah untuk memahami motif-motif yang mendasari setiap tingkah laku manusia.
            Dari dimensi dan kacamata HAM, dapat dicatat perkembangan instrumen-instrumen sebagai berikut:
(1)  Universal Declaration of Human Rights tahun 1948, pada Pasal 3 mengenai hak  untuk hidup, jelas bertentangan dengan pidana mati;
(2)     Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan politik (International Covenat on Civil and Political Rights- ICCPR). Hak untuk hidup (rights to life), yaitu pada Bagian III Pasal 6 (1), menyatakan bahwa setiap memusia berhak atas hak untuk hidup dan menyatakan perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu. Konvenan Internasional ini  diadopsi pada 1966, dan berlaku (enter into force) sejak 1976. Hingga 2 November 2003, tercatat telah 151 negara melakukan ratifikasi/aksesi terhadap konvenan ini;
(3)   Second Optional of ICCPR Aiming or The Abolition of Death Penalty, tahun 1990. protocol opsional ini bertujuan untuk menghapuskan pidana mati. Hingga saat ini, tercatat 50 negara telah meratifikasi;
(4)  Protocol No.6 Europian Convention far The Protection Human Rights and Fundamental Freedom, tahun 1950 (berlaku mulai 1 Naret 1985). Instrumen ini bertujuan untuk menghapuskan pidana mati si kawasan Eropa;
(5)   The Rome Statute of International Criminal Court, 17 Juli 1998. dalam Pasal 7 tidak mengatur pidana mati sebagai salah satu cara pemidanaan. Hingga saat ini, tercatat 94 negara telah meratifikasi instrument ini.
Dengan segala pro dan kontra atas penerapan pidana mati di Indonesia, jenis pidana ini masih tetap diterapkan bahkan tercantum dalam Konsep Rancangan KUHP Baru Indonesia. Bila dihubungkan dengan terpidana mati itu sendiri, terpidana mati berhak mengajukan upaya hukum, baik melalui penasihat hukumnya, keluarganya, atau dirinya sendiri. Upaya hukum itu mencakup banding, kasasi,  dan peninjauan kembali. Selain itu, baik melalui dirinya sendiri, keluarga, atau kuasa hukumnya, terpidana dapat mengajukan permohonan grasi kepada presiden.
Mengenai kewenangan presiden meberikan grasi, disebut kewenangan presiden yang bersifat judicial, atau disebut juga sebagai kekuasaan presiden dengan konsultasi. Kekuasaan dengan kosultasi adalah kekuasaan yang dalam pelaksanaannya memerlukan usulan atau nasehat dari institusi-institusi yang berkaitan dengan materi kekuasaan tersebut. Selain grasi dan rehabilitasi, amnesti dan abolisi juga termasuk dalam kekuasaan presiden dengan konsultasi. Seperti tercantum dalam Pasal 14 ayat (1) Amandemen Undang-undang Dasar 1945, “Presiden memberikan amnesti dan abolisi atas pertimbangan DPR”.
Kewenangan Presiden memberikn grasi terkait dengan hukum pidana dalam arti subyektif. Hukum pidana subyektif membahas mengenai hak negar untuk menjatuhkan dan menjalankan pidana.  Hak negara yang demikian ini merupakan hak negara yang besar, sehingga perlu dicari dasar pijakannya melalui teori pemidanaan. Oleh karena  itu, Presiden dalam memberikan grasi harus  didasarkan  pada   teori  pemidanaan.      
Masalah grasi mulai banyak diperbincangkan akhir-akhir ini, sejak pertengahan 2003 lalu presiden Megawati Soekarnoputri menolak permohonan grasi enam terpidana mati. Mereka adalah lima orang terlibat pembunuhan, dan satu orang dalam kasus narkoba. Pemberian grasi pada masa Orde Baru bukan suatu hal yang baru. Grasi berupa perubahan status terpidana mati menjadi seumur hidup, pernah diberikan kepada Soebandrio dan Omar Dhani. Demikian pula terhadap sembilan terpidana lain (1980), setelah itu, tidak kurang dari 101 permohonan grasi diberikan oleh presiden Soeharto. Tentu saja hal ini bukanlah jumlah yang sedikit, mengingat kekuasaan Orde Baru telah bertengger selama 32 tahun.
Pada tahun 1997, hakim Pengadilan Negeri Sekayu Sumatera Selatan menjatuhkan vonis pidana mati kepada Jurit Bin Abdullah dan seorang rekannya. Jurit dan rekannya didakwa telah melakukan pembunuhan berencana terhadap Soleh Bin Zaidan di Mariana, Banyuasin, Sumatera Selatan, lewat  Putusan No 310/Pid B/1997 PN Sekayu. Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan dengan Putusan No 30/Pid/PT, 21 April 1998, juga memvonis pidana mati kepada Jurit dan rekannya. Putusan ini sekaligus menguatkan putusan dari pengadilan sebelumnya. Kemudian mereka langsung mengajukan grasi, namun grasi ini ditolak oleh presiden. Sedangkan permohonan Peninjauan Kembali Jurit terdaftar di Pengadilan Negeri Sekayu pada 17 Febuari 2003. Permohonan Peninjauan Kembali itu diajukan secara pribadi oleh Jurit melalui LP Kelas I Palembang, tempat dirinya menjalani hukuman. Permohonan Peninjauan Kembali ini juga ditolak.
Dalam waktu yang hampir bersamaan, Jurit juga didakwa dengan kasus pembunuhan yang lain. Yaitu pembunuhan terhadap Arpan Bin Cik Din pada 27 Agustus 1997 di Mariana, Banyuasin. Dalam kasus ini hakim Pengadilan Negeri Palembang memvonis pidana penjara seumur hidup. Peninjauan Kembali yang diajukan dalam rangka kasus ini juga dinyatakan tidak dapat diterima.
Beberapa resiko yang dikhawatirkan sebagai akibat dari vonis yang dijatuhkan oleh hakim, khususnya untuk pidana maksimal seperti pidana mati, yaitu adanya kemungkinan terjadi eksekusi terhadap innocent people. Selain itu, adanya kekhilafan dalam proses hukum, meliputi proses penuntutan, penangkapan yang salah, atau keterangan dari saksi yang tidak dapat dipercaya, bisa  saja terjadi. Boleh dibilang grasi merupakan salah satu lembaga yang bisa mengkoreksi dan mengatasi resiko tersebut. Itulah sebabnya mengapa grasi berada di luar lingkup peradilan pidana. Hal ini memberikan indikasi bahwa, meskipun grasi merupakan kewenangan presiden yang berada dalam lingkup Hukum Tata Negara, hukum pidana juga memandang tentang keberadaan grasi dalam hal upaya dari terpidana untuk menghindarkan dari eksekusi putusan.

Amnesti Abolisi dan Grasi 4.5 5 JASMAN UNIMPORTANT 01 Desember 2010 A.      Amnesti Amnesti (dari bahasa Yunani, amnestia) adalah sebuah tindakan hukum yang mengembalikan status tak bersalah kepada o...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Populer